Penggagas Generasi Emas Timnas Belgia.Di Piala Dunia 2018, Siapakah Dia dan Bagaimana Asal mulanya, Ini Dia Jawabannya
Ini lah Orang yang Memulai Generasi Emas Timnas Belgia pada PIala Dunia 2018 di rusia
Semua ini bermula saat Belgia berjumpa Turki pada grup B Piala Eropa 2000. Belgia saat itu berstatus tuan rumah bersama Belanda. Mereka harus menang agar lolos ke babak selanjutnya. Alih-alih menang, tim berjuluk Setan Merah tampil buruk. Bermain menggunakan formasi 4-4-2, dua ujung tombak Luc Nilis dan Emile Mpenza tak berdaya membongkar pertahanan lawan. Saat mereka dijauhkan dari gelandang Marc Wilmots, yang tampil baik saat melawan Swedia dan Italia, duet penyerang itu praktis tak berkutik.
Permainan 4-4-2 mereka amat kaku dan tanpa visi, apalagi memasuki sepertiga akhir lapangan. Alhasil Belgia pun kalah 2-0 dan tersingkir dari Piala Eropa dengan status sebagai tuan rumah. Ini adalah kegagalan berulang, empat tahun sebelumnya tim ini hancur lebur di Piala Dunia 1998.
Tak lama setelah kekalahan dari Turki, presiden federasi Belgia, Michel D'Hooghe menelopon Michael Sablon. "Ada yang salah di sini," kata D'Hooghe kepada Sablon. “Benar-benar salah. Ini pekerjaan Anda, Anda adalah direktur teknis, sekarang giliran Anda untuk mengubahnya. Dan tolong ubah ini menjadi lebih baik.”
Menjadi salah satu cerita paling menonjol dalam sejarah sepakbola modern, usai menerima telepon itu Sablon kembali ke kantornya dan mengambil selembar kertas dari laci meja. Ia pun merancang cetak biru pengembangan sepakbola Belgia. Kegagalan timnas senior bermula dari pembinaan usia muda yang amburadul.
“Ketika Anda melihat tim yang lebih muda, U-17, U-18 dan U-19, ada sesuatu yang salah secara fundamental. Bukan soal hasil, tapi juga kualitas permainan. Itulah alasan kami mengubah banyak hal," kata Sablon dikutip dari Irish Examiner.
Ia mulai mengobservasi dan belajar banyak dari negara tetangga. Di selatan, Sablon belajar banyak dari Perancis. Kala itu Perancis dianggap sukses dalam hal perombakan pendidikan olahraga, program akademi pemuda, dan teknik pelatihan. Perancis kala itu sedang menuai generasi emas usai juara Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000.
Gerard Houllier dianggap tokoh penting di balik keberhasilan Perancis itu. Ia dianggap sukses saat menjabat sebagai Direktur Teknik periode 1988-1994. Dari tangan Houllier lahir bakat-bakat seperti Zinedine Zidane, Thiery Henry, David Trezeguet, Didier Deschamps, Claude Makalele dan lain-lain. Setiap dua kali dalam setahun, Sablon mengunjungi Houlier untuk berguru soal ini.
Di utara, Sablon pun belajar banyak dari Belanda terkait pengembangan individu dan taktikal permainan, khususnya gaya total football. Sablon pun belajar banyak kepada Johan Cruyff.
• 4-3-3 yang Jadi Pakem sejak Usia Dini
Sablon mengajak Universitas Brussel dan Universitas Louvain untuk mengaudit sistem pembinaan di seluruh kelompok usia. Di antaranya dengan mengoleksi ribuan data detak jantung pemain serta menganalisis 1500 rekaman video pertandingan berbagai kelompok usia dan tindakan si atlet saat bermain, mulai dari passing, dribbling, crossing, dsb. Upaya mengumpulkan data ini membutuhkan waktu lebih dari 2,5 tahun dengan melibatkan 70 ahli di berbagai bidang. Tak melulu soal fisik namun soal mental dan psikologi juga. Dari ribuan data itulah Sablon akhirnya memutuskan menggunakan 4-3-3 sebagai pakem dalam pembinaan pemain muda.
Namun kurikulum taktik ini baru diberikan saat pemain memasuki kelompok umur U-12. Pada tiap kelompok umur ia merinci program yang berbeda.
"Pemain muda memulai kariernya pada usia empat atau lima tahun. Sangat penting pada fase ini membiarkan mereka bermain semau mereka," Kata Browaeys yang menyebut kebebasan eksplorasi dan kesenangan sebagai kunci program pada usia ini.
Lalu pada U-8, baru mereka diajari cara menggiring bola yang benar. Setelah itu baru diajari cari melakukan umpan-umpan pendek pada U-12. Dan baru pada U-13 diberi pembelajaran soal taktik. Dalam kurikulum pada U-8, permainan dimulai dengan 3 versis 3, lalu 5 versus 5, lalu naik jadi 8 versus 8 pada U-12. Baru pada umur 12 tahun pemain diberikan kesempatan bermain 11 melawan 11.
Permainan kecil ini diprediksi mampu merangsang anak-anak berlatih keterampilan dasar seperti dribbling dan passing diagonal yang merupakan kunci saat bermain 4-3-3. Permainan dengan sedikit orang dirancang untuk memaksimalkan skill individu sebagai fondasi dasar seorang pemain.
Ia pun mulai berkelana ke seluruh penjuru negeri, melakukan lebih dari 200 presentasi kepada sekolah sepakbola usia dini. Dari hasil risetnya dalam pembinaan usia muda, para pelatih selalu menekankan hasil ketimbang proses, ia selalu mengulang kalimat ini saat seminar.
Butuh hampir 6,5 tahun agar kurikulumnya ini dipakai di seluruh negeri. Hasil formasi 4-3-3 tak langsung mulus. Sablon masih ingat, laga pertama usia dini yang dimainkan dengan 4-3-3 berbuah kekalahan cukup telak 6-1 bagi Belgia.
Tak melulu soal pembangunan karakter dan taktis, ia pun merekonstruksi habis-habisan infrastruktur di sana. Laba sebagai tuan rumah Piala Eropa 2000 diinvestasikan untuk membangun fasilitas pengembangan megah di luar kota Brussel. Tak lupa ia pun memberi subsidi dan membuka peluang seluas-luasnya bagi mereka yang ingin mengikuti kursus kepelatihan. Hasilnya, jumlah pelatih di Belgia naik lebih dari 10 persen dalam waktu singkat.
Eden Hazard dan Kevin De Bruyne adalah talenta yang langka, namun kedalaman skuat Belgia tak akan berhenti pada generasi mereka saja. Tim U-21 Belgia berada di puncak grup kualifikasi untuk Piala Eropa U-17 yang baru digelar Mei lalu. Belgia lolos ke semifinal dan menjadi tim yang mencetak gol paling banyak.
Sablon telah pergi. Ia kini menjadi Direktur Teknik Federasi Sepakbola Singapura (FAS) sejak 2015. Meski begitu, cetak biru yang dirancangnya masih terasa sampai sekarang. Salah satu kunci kesuksesan cetak biru Sablon adalah peran serta akademi klub dalam pengembangan ini.
Sablon berusaha menyelaraskan visi ini dengan tim-tim usia dini di klub-klub Belgia dengan bantuan orang-orang berdedikasi seperti Hans Galje di Club Brugge, Roland Breugelmans di KRC Genk, mendiang Dominique D'Onofrio di Standard Liege dan Jean Kindermans di RSC Anderlecht. Mereka membantu mengaplikasikan permainan lima vs lima dengan berlian tunggal, delapan vs delapan dengan berlian ganda dan akhirnya 11 vs 11 dengan formasi tetap 4-3-3.
Dari sekian banyak klub itu, Anderlecht punya andil lebih besar. Akademi tim terkuat di Belgia ini sekarang menyumbang 35 persen pemain timnas Belgia dari 23 pemain yang mewakili Belgia di Piala Dunia di Rusia. Romelo Lukaku, Vincent Kompany, Leander Dendoncker, Youri Tielemans, Dries Mertens, Adnan Januzaj, Michy Batshuayi dan Marouane Fellaini semuanya dikembangkan di Anderlecht.
0 Response to "Penggagas Generasi Emas Timnas Belgia.Di Piala Dunia 2018, Siapakah Dia dan Bagaimana Asal mulanya, Ini Dia Jawabannya"
Post a Comment